Senin, 18 Oktober 2010

Likurai, Tarian Sang Penakluk yang Kian Terpuruk

Tarian Likurai

IndonesiaSeni.com, Atambua (NTT) - Welcome to undiscover island. Inilah sebaris iklan usang yang penulis baca dari salah satu maskapai penerbangan dalam negeri tentang Pulau Timor beberapa tahun silam. Ah… Timor! Pulau gersang yang miskin sumber air dan ditaburi begitu banyak bukit berbatu ketimbang lahan subur untuk digarap. Terlepas dari kerasnya alam setempat, Timor memiliki banyak kekayaan yang terkandung dalam seni budaya, adat istiadat serta asal usul antropologi manusianya yang apabila diusut akan semakin kusut. Hal inilah yang membuat ia disinggahi banyak warga negara asing untuk mengeksplorasi  ketimbang para pribumi yang tidak menyadari “nilai” yang ada dalam darah dan nafas mereka sendiri.

Adalah Likurai. Ia merupakan salah satu tarian tertua yang ditarikan sebagian besar masyarakat Timor Indonesia hingga ke pelosok Timor Leste. Likurai merupakan sejenis tarian yang didendangkan. Alkisah pada jaman dahulu, para feto (putri raja) akan menyambut para meo (pahlawan) yang pulang dari peperangan sambil membawa penggalan kepala para musuh yang kalah. Kepala-kepala ini lantas dibuang ke tanah oleh para penari. Hal ini menyatakan sikap mereka bahwa kelak, anak cucu mereka diharapkan mampu untuk menghina dan memenggal kepala para musuh seperti yang nenek moyang mereka perbuat. Para pahlawan ini lantas diarak hingga ke depan latar yang ada di tengah kampung dan para pemangku adat mulai menceritakan kembali jalannya pertempuran lengkap dengan jumlah korban dan kepala yang terpenggal.

Secara harfiah, Likurai berasal dari dua suku kata. Liku yang berarti menguasai dan Rai yang berarti tanah. Jadi tarian ini berarti “ menguasai bumi”. kata ini berasal dari klan Tetun yang paling dominan di pulau Timor. Namun demikian tarian ini juga ditarikan oleh klan-klan lain dan menamainya menurut bahasa mereka sendiri. Klan Buna menyebutnya  Teberai, klan Kemak menyebutnya Dudubau serta klan Tetun selatan menyebutnya Taes Bibliku. Apapun sebutannya, tarian ini tetap merepresentasikan satu hal. Yaitu ”penghormatan bagi mereka yang menguasai bumi”.

Tarian ini ditarikan oleh sekelompok perempuan sambil menabuh tibar (gendang) yang diselipkan di ketiak mereka. Para penari ini akan membentuk dua barisan dan di depan tiap barisan berdiri dua orang pria yang memakai giring-giring kaki sambil membawa kelewang (pedang). Dahulu, para penari pria diwajibkan untuk memakai tais (kain) untuk kaum pria dan sarung untuk penari perempuan yang kesemuanya harus ditenun dari bahan-bahan alam dan bukan olahan pabrik. Para penari perempuan yang ada di barisan paling depan harus berasal dari kaum keluarga raja/bangsawan. Namun seiring berputarnya jaman, para penari kini telah memakai pakaian olahan pabrik, seperti kemeja dan kebaya. Dalam barisan para penari pun tidak ada lagi perempuan yang berasal dari kaum bangsawan. Kalaupun ada, ia bisa saja di taruh di bagian tengah/belakang, tergantung selera sang koreografer dan bukan seturut pakem-pakem adat yang berlaku.

Tarian ini diawali dengan tabuhan tibar salah seorang penari dan disusul oleh penari lain. Ketika kekompakan irama telah dicapai maka mereka mulai meliuk-liukkan tubuh ke kiri dan kekanan, terkadang sambil berjongkok dan membentuk formasi tertentu. Para penari pria akan menghentakkan giring-giring kaki mereka sambil mengacungkan kelewang di tangan. Mereka pun mulai berpantun dan mendendangkan syair-sayair kemenangan diselingi pekik-pekik peperangan. Tabuhan tibar ini kian lama akan kian cepat dan keras, begitu pula dengan gerak tubuh para penari. Terkadang para penari ini akan serempak berhenti bergerak sehingga menimbulkan keheningan yang spontan. Secara umum tarian ini tampak cantik, enerjik serta mampu membangkitkan bulu kuduk, apalagi kalau membayangkan kepala manusia yang dahulu sempat berseliweran di antara kaki para penari. Meski memakai alat musik yang sama, namun setiap klan memiliki iramanya sendiri-sendiri sehingga kita mampu mengenali klan mana yang tengah menari tanpa harus melihat.

Tibar, alat musik yang dominan dipakai dalam tarian ini bentuknya menyerupai tifa namun lebih lonjong dan ramping. Penulis pernah melihat alat musik ini diproduksi secara massal di pulau Bali, namun ironisnya, menurut pengakuan sang empunya galeri di salah satu TV swasta, alat musik yang menyerupai tibar tetapi disebut dengan nama lain ini, diakui bukan berasal dari Timor melainkan dari Afrika.

Jika sempat berkunjung ke Timor, jangan berharap bisa menyaksikan tarian ini dengan mudah kecuali anda datang sebagai tokoh masyarakat. Likurai kini beralih fungsi sebagai tarian selamat datang semata dan posisinya kian bergeser. Dahulu tarian ini selalu dipentaskan saat HUT RI sampai ketingkat pusat serta dipentaskan dalam upacara-upacara adat/keagamaan. Likurai juga ditampilkan sebagai tarian pembuka sebelum acara dansa ala barat dimulai dalam pesta pernikahan rakyat. Tetapi kini di kota-kota besar Timor, terutama di tempat asalnya Belu, ia bahkan tidak termasuk dalam kurikulum pendidikan sebagai mata pelajaran ekstrakurikuler bagi anak-anak yang menjadi penerus tradisi. Jumlah para penari pun kian berkurang. Lebih banyak kaum ibu yang menarikannya ketimbang para gadis. Entah karena malu atau latah dengan globalisasi, para feto lebih menyukai hal-hal berbau urban culture ketimbang tradisi sendiri. Memang nasib Likurai belum sesekarat saudaranya “sasando” dari pulau rote yang baru mendapat nafas buatan dari pihak Pemda setelah kurang lebih sepuluh orang di Indonesia yang menguasai alat musik ini. Namun apabila tabuhan tibar kian terpojok hingga ke pelosok, pastilah ajal Likurai akan sampai di tangan si empunya sendiri.

Penulis memiliki mimpi sederhana tentang tabuhan tibar yang menggema di setiap penjuru pulau asalnya, karena generasi muda yang lahir dari para feto dahulu mau menjadikan Likurai sebagai sesuatu yang lekat dalam keseharian mereka. Seperti halnya anak-anak di Amerika dengan bola basket mereka. Penulis yakin, apabila tarian ini digarap dengan serius, ia bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk memecahkan masalah ekonomi di pulau gersang ini yang keindahan alam dan pariwisatanya belum terkelola dengan maksimal.

Menyelamatkan Likurai harus diawali dengan kesadaran sang empunya sendiri. Bahwa tarian ini bukan sekedar ikon, tetapi suatu identitas diri yang menyatakan keberadaaan akar suatu klan di tengah beragamnya budaya Indonesia. Atau haruskah Likurai berakhir seperti akar yang kehilangan tempat ia berakar?

sumber: www.indonesiaseni.com

0 komentar:

Posting Komentar