Jumat, 22 Oktober 2010

Resep Turun-temurun Sejak Jaman Jepang

Sentra Lele dan Belut Asap di Dusun Jati
image SETIAP sore asap terlihat mengepul di atas rumah-rumah warga di Dusun Jati. Asap itu ternyata berasal dari sabut kelapa yang dibakar dalam tungku dapur untuk mengasap lele dan belut di atasnya. Dusun yang ada di Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulon Progo ini memang menjadi sentra pengolahan lele dan belut asap.
Keberadaannya sebagai setra pengolahan lele dan belut sepertinya memang belum banyak dikenal. Namun bila ditelusuri, ternyata usaha pengolahan lele dan belut di dusun itu sudah turun-temurun sejak jaman pendudukan Jepang.
Pada masa itu, semula hanya ada dua orang yang menjadi cikal bakal berkembangnya usaha pengolahan lele dan belut. Yakni Mbah Amat Kardi dan Mbah Kromo Munawi.
Seiring berjalannya waktu, keturunan-keturunan sesepuh di dusun itu pun meneruskan usahanya, termasuk para tetangga. Warga yang saat ini menekuni usaha itu merupakan generasi ketiga dan keempat.
"Baru sejak tiga tahun lalu dibentuk kelompok dengan nama Sari Progo, beranggotakan 12 kepala keluarga di lingkup satu pedukuhan. Tapi di luar kelompok ada juga beberapa warga yang juga menekuni usaha ini," ungkap Mujiyo (38) ketua kelompok Sari Progo, kepada Suara Merdeka, belum lama ini.
Warga di dusun itu mengolah lele dan belut pada siang menjelang sore hingga petang. Kebanyakan diolah dalam bentuk asap dan goreng. Sekitar pukul 14.00 WIB warga mempersiapkan lele dan belut yang akan diolah. Pertama digarami selama sekitar satu jam, kemudian dibersihkan dan dicuci. Lele yang telah bersih ditusuk dengan penusuk bambu memanjang.
Selanjutnya lele dan belut yang sudah ditusuk itu dijajar di atas tungku dan diasap dengan arang sabut kelapa. Ada juga yang digoreng. Lele dan belut yang telah matang kemudian ditata dalam nampan dan dikemas. Baru pada pukul 04.00 keesokan harinya berangkat dijual ke pasar-pasar tradisional, warung-warung makan, serta pembeli pelanggan.
"Alhamdulillah dari usaha ini bisa untuk memenehi kebutuhan hidup keluarga. Saya sudah empat puluh tahun menekuni usaha ini, meneruskan usaha simbok (ibu)," kata Mbok Tumbar alias Wagiyem (70), salah satu warga.
Lele dan belut asap maupun goreng bisa langsung dimakan untuk lauk. Namun bisa juga diolah lagi menjadi mangut lele atau mangut belut. Sebagian warga juga menjualnya dalam bentuk olahan ini. Lele dan belut diolah dengan santan, racikan bumbu, dan cabai, maka jadilah mangut yang mengundang selera serta memanjakan lidah.
Amat Minarjo (80) warga yang lain mengungkapkan, selain lele dan belut, sebagian warga juga membuat olahan udang dan wader. Ayah lima orang anak ini menuturkan saat masih muda ia sudah mulai membantu kakeknya (Amat Kardi) menjalankan usaha membuat olahan aneka jenis ikan tersebut.
"Jadi ini sudah turun-temurun sejak simbah, waktu masih jaman Jepang. Sekarang sudah keturunan ke empat, anak-anak saya juga meneruskan," kata dia.
Menurut Ketua Kelompok Sari Progo, Mujiyo, bahan baku lele dan belut yang diolah warga didapat dari pedagang pemasok. Dalam sehari total kapasitas produksi warga yang tergabung dalam kelompok rata-rata sekitar 3,5 - 4 kwintal. Namun jika menjelang hari raya bisa mencapai sekitar 5 kwintal per hari.
"Pemasaran ke pasar-pasar tradisional di Yogyakarta, warung-warung makan besar, dan juga pelanggan. Yang diproduksi setiap hari pasti habis, dan ini diolah tanpa bahan pengawet," jelasnya.
Harga jual untuk lele asap (utuh) Rp 25 ribu sedangkan lele asap potong-potong yang ukurannya lebih besar Rp 40 ribu per kilogram. Sementara harga bahan baku lele berkisar Rp 12,5 ribu per kilogram. Sejak dibentuk kelompok pada 2007 lalu, inovasi produk olahan pun dilakukan, yakni dibuat juga menjadi abon lele. Namun diakuinya, pemasaran untuk produk baru ini masih belum begitu bagus.
"Yang pasti usaha ini bisa mengangkat perekonomian warga. Kami juga sedang berupaya lebih mengembangkan lagi, kami berharap ada kemudahan mengurus perijinan usaha kecil bagi anggota ini," imbuhnya.
sumber: www.suaramerdeka.coom

0 komentar:

Posting Komentar