Jumat, 26 November 2010

"Aruh Ganal", Menghormati Kemurahan Alam Ala Dayak Meratus

Rubrik "Tanah Air" hari ini disiapkan oleh almarhum wartawan "Kompas", Muhammad Syaifullah (43), sepekan sebelum Kepala Biro Kalimantan itu ditemukan meninggal dunia, Senin (26/7) pagi, di Kantor  Biro Balikpapan, Kalimantan Timur. Ia meliputnya bersama Defri Werdiono.
Malam kian larut, tetapi belasan balian laki-laki dipimpin pengulu adat terus menari. Diiringi suara gendang dari kulit binatang, "trong tung tung, trong tung tung tung..." mereka tak henti melafalkan mantra sambil mengelilingi ancak tempat sesaji.
Prosesi di dalam balai adat ini dilakukan semalam suntuk, dimulai sekitar pukul 22.00 dan baru selesai pukul 09.00 keesokan harinya.
Tak tampak gurat lelah di raut muka para balian atau tokoh spiritual penganut Kaharingan (kepercayaan asli masyarakat Dayak di Kalimantan), yang sebagian di antaranya sudah berusia lanjut itu.
Dengan pakaian seadanya, ditambah ikat kepala atau topi, serta sarung sebatas lutut, mereka terus menggoyang-goyangkan untaian bunga dan janur (ringgitan) yang pangkalnya mereka genggam dengan tangan kanan.
Langkah kaki mereka pendek-pendek. Matanya sesekali terpejam dan sesekali melihat pada warga yang hadir dan duduk mengelilingi ancak sesaji (langgatan), sedangkan kepalanya bergoyang-goyang mengikuti lafal mantra yang mereka ucapkan dengan nada agak keras itu.
Saat mengelilingi langgatan yang dihias janur pohon enau, para balian dan pengulu (penghulu) adat itu menyempatkan diri menghampiri para penabuh gendang (panjulang) yang duduk di sekitar tempat sesajian.
 Kepada para panjulang, yang ternyata adalah istri mereka, para balian dan pengulu itu mengatakan sesuatu yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Kata-kata yang diucapkan sulit dimengerti karena menggunakan bahasa Dayak Belian, dan diucapkan dengan cara dilantunkan mirip orang berpantun.
Apa yang disampaikan itu kemudian ditimpali oleh para panjulang. Kegiatan ini dilakukan sambil menari dan berulang hingga hari berganti terang.
Sementara itu, ratusan warga yang telah memadati balai adat sejak sore terus memerhatikan prosesi itu. Sebelumnya, sesaat setelah prosesi dimulai, sebagian dari mereka telah meletakkan hasil panen berupa gabah ke atas langgatan. Gabah itu adalah padi yang terakhir dipanen.
Hasil panen lain yang disertakan dalam upacara adalah lemang-yang sekaligus jadi perlengkapan sesaji. Lemang yang masih dalam batang bambu ini sempat pula dipakai untuk menari, diangkat, dan digoyang-goyangkan.
Lemang adalah sejenis lemper, memasaknya dengan memasukkan beras ketan ke dalam potongan bambu, kemudian bambu dibakar menggunakan kayu.
Pada malam tersebut, memang menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh segenap masyarakat Dayak Bukit yang mendiami Kampung Tanginau, Desa Tumingki, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimatan Selatan, atau sekitar 150 kilometer arah utara Kota Banjarmasin. Mereka merayakan upacara adat aruh ganal.
Aruh ganal adalah upacara pada puncak musim panen. Aruh berarti kenduri. Ganal berarti besar. Aruh ganal artinya kenduri besar.
Bagi masyarakat Tanginau yang mendiami Pegunungan Meratus, aruh dua pekan lalu itu adalah yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir,  antara lain karena dilaksanakan selama enam hari enam malam.
Yang menarik, aruh ganal kali ini juga dimanfaatkan warga untuk menikah. Pernikahan itu dilakukan secara sederhana dan singkat. Malam hari, sebelum aruh ganal dimulai, kedua pihak mempelai tawar-menawar uang mahar (jujuran). Saat itu pihak perempuan meminta nilai mahar Rp 19 juta, dan bisa ditawar Rp 11,1 juta. Siang hari, setelah prosesi aruh malam pertama, dilakukanlah upacara pernikahan dan dipimpin pengulu adat.
Melalui aruh ganal, masyarakat bermaksud mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hajat berupa hasil panen yang melimpah.
Menurut pengulu adat, Amban, aruh ganal juga menjadi media untuk memohon keselamatan bagi semua warga kampung. Mereka memuja kepada Sang Hyang Widi, Batara, dan Datuk atau leluhur agar mendapatkan berkah, rezeki, dan panjang umur. Orang Dayak tak akan mengonsumsi hasil panen sebelum ritual dilaksanakan.
Pertanian mereka pun ternyata melampaui zaman, go green, karena ramah lingkungan: tanpa obat penyubur, tanpa obat hama, dan nonkimiawi. Kuncinya satu, pilihlah lahan tanam terbaik.
Berladang atau berhuma (bahuma) adalah kegiatan utama warga Dayak Meratus. Bahuma sekaligus laku spiritual, dan puncak religi mereka adalah upacara aruh ganal tadi.Aruh ganal di Meratus tidak hanya dilaksanakan oleh mereka yang mendiami kampung Tanginau, tetapi juga kampung dan desa lain, seperti Haratai, Batung, Harakit, Balawaian, dan Mancubung. Dalam setahun biasanya dilakukan tiga kali aruh.
Semua pendatang disambut warga setempat dengan sukacita. Penghuni balai adat sengaja menyiapkan minuman dan kudapan gratis sepanjang malam. Namun, cuma warga yang datang sebelum aruh yang bisa bermalam dan menetap di balai.
Di akhir acara, warga yang panen memberikan sebagian berasnya untuk tetamu.
Aruh ganal ternyata tak hanya sebentuk tradisi menyayangi dan menghormati alam, tetapi juga berbagi kasih dengan sesama, meski semula mereka tak saling kenal.

sumber : tanahair.kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar