Jumat, 22 Oktober 2010

Duta Batik Pertama di Indonesia

image


Inspirasi Kartini

Oleh Edyna Ratna Nurmaya
BICARA Kartini memang tak pernah ada habisnya. Wanita Jawa berperangai menawan dengan tutur katanya yang begitu halus ini ternyata menyimpan banyak keunggulan dalam dirinya. Meski berada di balik tembok keraton dalam kungkungan adat feodal, namun tak berarti Kartini tak lagi bisa mengembangkan diri sebagai pribadi yang kreatif.
Mungkin belum banyak yang tahu bahwa Kartini yang senang menulis ini juga gemar nembang diiringi gamelan Jawa. Dengan amat puitisnya, Kartini menggambarkan keindahan gending "Ginonjing" yang mampu membawa jiwa melayang tinggi ke awan dan membawa serta ke lembah yang gelap dan jurang yang teramat dalam.
Pun selain terkenal sebagai budayawan, beliau juga dikenal sebagai seniman meski bukan seorang profesional. Lewat surat-surat yang terkirim untuk sahabat penanya, diketahui bahwa Kartini juga gemar membatik. Baginya adalah sebuah keharusan untuk menjaga dan memperkenalkan nilai-nilai dan warisan budaya leluhurnya.
Sarung Batik
Seni membatik adalah salah satu bidang yang mendapat perhatian cukup serius dari Kartini. Ya, sebagai wanita jawa, Kartini selalu setia berpakaian batik. Bahkan beliau sudah belajar membatik sejak umur 12 tahun. Pramoedia Ananta Toer dalam bukunya "Panggil Aku Kartini Saja", mengatakan bahwa Kartini pernah menghadiahi sebuah kain sarung batik karyanya sendiri kepada istri direktur departemen pengajaran dan ibadah.
Sarung batik karya Kartini ini sempat pula dipotret dan direproduksi pada buku Armijn Pane, "Habis Gelap Terbitlah" Terang.
Tak hanya mengenalkan batik pada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda, Kartini juga turut mengambil peran dalam penulisan buku pertamanya tentang Batik yang ditulis oleh G. P. Roufer dan Dr. H. H. Juynboll dalam bahasa Belanda, "De Batikkuns in Nederlands-Indie en Haar Geschiedens" (Kesenian Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya).
Hebatnya beliau juga mengirimkan dokumen tentang tata cara pembatikan dengan runut dan sangat detail dalam bahasa Belanda yang rapi. Tulisan Kartini pun menyertakan gambar-gambar kain batik dan peralatan pembatikan, yang menjadi bagian penting dalam bab pertama buku ini, tersebutkan itu dalam buku Pramoedya Ananta Toer, "Panggil Aku Kartini Saja".
Makin membumi
Tahun 1898, saat itu Den Haag sedang diadakan pameran Nasional untuk karya wanita. Makin nyatalah usaha Kartini mengenalkan kesenian batik ke dunia luar. Dalam pameran itu, Ratu Wihellmina dan ibu suri Emma menaruh rasa kagum dan melontarkan pujiannya pada karya Tiga Soedara berjudul "Handschrift Japara" (Manuskrip Japara-red) yang dipamerkan di stand Jawa.
Betapa riangnya hati Kartini, beliau tak pernah menyangka tulisannya tentang batik akan mendapat perhatian yang cukup besar. Berkat tulisannya pula, pemerintah Belanda makin mengenal kesenian rakyat Indonesia, khsususnya seni batik yang makin membumi di sana.
Inilah awal dari cita-cita Kartini untuk tak sekedar memperjuangkan emansipasi dan pendidikan kaumnya, tetapi juga memperjuangkan peningkatan perekonomian masyarakat Jepara pada khususnya, dan menyangkut kepentingan rakyat secara luas. Pernyataan Kartini ini bisa terbaca pada surat yang dikirimkan untuk Nelly van Kol, pada bulan Agustus 1901. Berikut petikan isi suratnya, "Seni Rakyat adalah salah satu alat untuk mencapai kemakmuran rakyat."
Menuliskan kisah Kartini dan segala pencapaian cita-citanya yang inspiratif ini, membuat saya kembali merenungkan bahwa sejatinya Kartini memang layak diakui dunia sebagai pejuang wanita dengan segala kehebatan yang dimilikinya. Terbukti gagasan Kartini yang cemerlang selalu mendunia. Cita-citanya untuk 'nguri-uri' Batik sebagai warisan budaya leluhur dan mengenalkannya pada dunia pun sudahlah tercapai.
Tugas Kartini mungkin saja telah usai, namun pesan dan amanatnya harus terus kita pegang untuk tetap melestarikan warisan dan nilai-nilai luhur budaya leluhur, meski sampai titik darah penghabisan.
www.suaramerdeka.com

0 komentar:

Posting Komentar